Amalan-amalan Di Bulan
Dzulhijjah, Ustadz Muhammad Ashrul Tsani
InsyaAlloh
kita akan memasuki salah satu dari bulan haram, yaitu Dzhulhijjah yang di
dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum, ketaatan, dan ibadah yang dapat
kita lakukan pada bulan tersebut. Sehingga untuk menyambut bulan tersebut maka
sudah selayaknya kita mengetahui dan mempelajari perkara-perkara apa saja yang
dapat kita amalkan pada bulan tersebut.
Di antara
amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah adalah:
1. Berpuasa
pada 10 hari yang pertama (1-9 Dzulhijjah).
Diantara nikmat yang Alloh berikan kepada hamba-hambaNya adalah dengan
dijadikannya segala sesuatu telah teratur dan tertata rapi. Salah satunya
adalah waktu. Alloh telah jadikan 1 tahun ini sebanyak 12 bulan, dan 4 bulan di
antaranya adalah bulan Harom. Alloh jadikan waktu tersebut sebagai taqdir bagi
hambaNya untuk dimakmurkan dengan keta’atan kepadanya dan bersyukur kepada
Alloh atas karuniaNya tersebut. Alloh berfirman dalam Surah At Taubah ayat 36,
yang artinya:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ
يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah
hari dimana Alloh menciptakan langit dan bumi, diantara 12 bulan tersebut
terdapat 4 bulan harom”. (At Taubah : 36)
Dan 4 bulan harom tersebut dijelaskan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam
adalah Muharrom, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abi Bakroh yang diriwayatkan oleh Al Bukhori Rahimahullah bahwa
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam berkhutbah dalam hajjatu wada’: yang
artinya:
Sesungguhnya
zaman telah beredar seperti keadaan pada hari Alloh menciptakan langit dan
bumi. 1 tahun adalah 12 bulan diantaranya adalah 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut
yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab yang terletak di antara 2
jumadil (awal dan akhir) dan Sya’ban.
InsyaAlloh
kita akan memasuki salah satu dari bulan haram, yaitu Dzhulhijjah yang di
dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum, ketaatan, dan ibadah yang dapat
kita lakukan pada bulan tersebut. Sehingga untuk menyambut bulan tersebut maka
sudah selayaknya kita mengetahui dan mempelajari perkara-perkara apa saja yang
dapat kita amalkan pada bulan tersebut.
Di antara
amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah adalah:
1. Berpuasa pada 10 hari yang pertama (1-9 Dzulhijjah). Hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari Abdulloh bin Abbas
radliyallohu ‘anhu, artinya: Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol
dari amal pada hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) mereka
mengatakan: dan tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau berkata: tidak juga
jihad fii sabilillah kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya dan
tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun. Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar
Rahimahullah dan dijadikan dalil dengannya atas keutamaan puasa pada 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah dikarenakan kedudukan puasa tersebut di dalam amal.
Lalu muncul sebuah masalah apa yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits
‘Aisyah bahwa beliau berkata: “Tidaklah aku melihat Rasululloh Shallallohu
'Alaihi Wassalam berpuasa pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah sedikitpun”.
Akan tetapi, berkata Nawawi Rahimahullah bahwa perkataan ‘Aisyah ditakwilkan
bahwa beliau tidak berpuasa pada hari tersebut dikarenakan sakit atau safar
atau sebab lainnya, atau bahwa ‘Aisyah tidak melihat beliau puasa padanya dan
ini tidak mengharuskan dari hal tersebut (perkataan ‘Aisyah radliyallohu ‘anha
tidak melihat Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam berpuasa) tidak adanya
puasa beliau pada waktu tersebut. Berkata Al Hafidh ; “Dan kemungkinannya bahwa
hal tersebut dikarenakan beliau meninggalkan amal dalam keadaan beliau suka
untuk mengamalkannya akan tetapi khawatir akan diwajibkan atas umatnya
sebagaimana tersebut dalam Shohihain dari hadits ‘Aisyah.
2. Berpuasa
pada hari Arofah (9 Dzulhijjah)
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qotadah Al Anshory
radliyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam ditanya
tentang puasa hari Arofah, maka beliau berkata: “menghapuskan (dosa-dosa kecil)
tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”. Dan ditanya tentang puasa Asyuro
(10 Muharrom), beliau berkata menghapuskan (dosa-dosa kecil) tahun yang lalu.
a) Shaum
pada hari Arafah ini disunnahkan bagi mereka-mereka yang diluar Arafah (tidak
wujuf di Arofah). Sementara mereka-mereka yang wukuf di Arofah tidak
disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu, dikarenakan beliau Shallallohu 'Alaihi
Wassalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Bahkan diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim Rahimahullah dari Maimunah bintu Al Harits, bahwa manusia
berselisih di sisinya pada hari Arofah berkenaan dengan puasanya Rasululloh
Shallallohu 'Alaihi Wassalam (pada hari tersebut). Sebagian mereka berkata
bahwa beliau berpuasa, dan sebagian lain menyatakan bahwa beliau tidak
berpuasa. Maka Maimunah mengantar kepada Rasululloh Shallallohu 'Alaihi
Wassalam segelas susu, dan beliau berada di atas tunggangannya di Arofah, lalu
beliaupun minum (susu tersebut). Ini adalah pendapat jumhur para ‘ulama dan
inilah yang dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury Hafidhahullah.
b) Sebagian
ulama mengharamkannya, seperti halnya Yahya bin Said Al Anshori dan dirojihkan
oleh Al Imam Shon’ani Rahimahullah , berdasarkan dengan hadits Abu Hurairoh
riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah: “Rasululloh melarang puasa
arafah di arafah”
Akan tetapi haditsnya lemah, di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang
bernama
Mahdi bin Harb Al Hajari, dia majhul (tidak dikenal).
Para ulama berselisih tentang hikmah tidak disunnahkannya puasa Arofah bagi
yang wukuf di Arofah:
a) Sebagian
menyatakan untuk memperkuat dalam berdo’a kepada Alloh (pendapat Al Khiroqi).
b) Sebagian ulama lainnya seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
mengatakan bahwa tidak disunnahkan berpuasa bagi yang wukuf di Arofah
dikarenakan hari tersebut Iednya bagi penduduk Arofah. Maka tidak disunnahkan
berpuasa bagi mereka. Wallohu a’lam bish showab.
3. Udhhiyyah
/ berqurban :
Kata Udhhiyyah merupakan bentuk jamaknya dari adhoohiy. Dijelaskan oleh Imam
Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Muslim (7/111) ada 4 bahasa:
1 ) udhhiyyah dan
2) idhiyyah bentuk jamaknya adalah adhoohiy dengan mentasydid ya dan
meringankannya
3) dhohyah bentuk jamaknya adalah dhohaayaa.
4) adhhaah jamaknya adhhaa, dan karenanya dinamakan yaumul adha. Dan dikatakan;
dinamakan demikian karena dilakukan pada waktu dhuha yaitu naiknya siang.
Udhhiyyah disyari’atkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya
sebagai bukti syukur seorang hamba kepada Rabbnya setelah memberikan
nikmat/anugrah yang banyak kepada mereka. Alloh berfirman dalam Surah Al
Kautsar ayat 1-3 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah memberimu Al Kautsar,
maka sholatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah”.
Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’dy Rahimahullah dalam tafsir beliau: Alloh
mengkhususkan dua ibadah ini dengan penyebutan, dikarenakan keduanya merupakan
ibadah yang paling utama dan merupakan kedekatan yang paling mulia. Dan
dikarenakan pada sholat terkandung ketundukan pada hati dan anggota tubuh
terhadap Alloh. Sementara pada berqurban merupakan kedekatan kepada Alloh
dengan apa yang paling afdhol yang dimiliki seorang hamba dari hewan qurban.
Juga padanya terdapat pengeluaran harta yang jiwa ini diberikan
fithroh/kecenderungan untuk mencintainya, dan bakhil terhadapnya (hal. 1105).
Hukum
Udhhiyyah Adapun tentang hukum udhhiyyah itu sendiri para ulama berselisih
menjadi beberapa pendapat, yaitu:
a) Jumhur
ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, jika meninggalkannya dengan
tanpa udzur tidak berdosa, dan tidak diwajibkan atasnya qodho. Diantara para
shahabat yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar
bin Khottob, Bilal, Abdullah bin Mas’ud. Juga para ulama seperti Said Ibnul
Musayyib, Al Qomah, Atho, Malik, Ahmad, dll.
b) Abu
Hanifah, Laits, Rabi’ah, dan Al Auzai’y berpendapat wajib bagi yang memiliki
kemudahan. Ini adalah pendapat sebagian Malikiyyah. Mereka berdalilkan dengan
hadits riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dishohihkan olehnya, dari Mikhnaf
bin Sulaim: “Atas setiap ahlu bait terdapat udhhiyyah”. Juga sebelumnya mereka
berdalilkan dengan ayat yang kita sebutkan di atas. Juga berdalilkan dengan
hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Ibnu Majah dll:
من كان له
سعة و لم يضح فلا يقربن مصلانا
“Barang
siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban maka jangan mendekati
mushola kami”. ( Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shohihul Jami', hadits no.
6490)
Namun yang rojih – Wallohu a'lam – adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan
sunnah muakaddah, dengan melihat hadits Ummu Salamah radliyallohu ‘anha yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah , bahwa Rasululloh Shallallohu
'Alaihi Wassalam bersabda: Yang artinya:
“jika telah
masuk 10 hari (bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban,
maka janganlah menyentuh (mencabut/memotong) dari rambutnya dan kukunya sedikit
pun”
Syahidnya,
bahwa beliau Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam berkata idzaa arooda, maka
ini menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib hukumnya, karena sesuatu yang wajib
terdapat penekanan (ilzam) padanya. Tidak semata-mata irodah (keinginan), dan
pendapat inilah yang dirojihkan oleh Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah.
Bahkan tidak dinukilkan dari salah seorang shahabatpun yang mewajibkannya,
seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah, kemudian diriwayatkan juga
dari Ibnu Umar radliyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata:
“bahwa qurban adalah sunnah yang ma’ruf / diketahui”.
Adapun dalil-dalil yang mereka sebutkan seperti:
1) Firman
Alloh : fasholli lirobbika wanhar, tidak menunjukkan wajibnya udhhiyyah, tetapi
menunjukkan bahwa qurban waktunya setelah sholat, maka riwayat tersebut
menentukan terhadap waktunya bukan menunjukkan wajibnya berqurban. Demikian
dijelaskan oleh Ashon’ani Rahimahullah dalam Subulussalam.
2) Adapun
hadits Abu Hurairoh, haditsnya maukuf maka tidak ada hujjah padanya.
3) Sementara
hadits Mikhaf bin Sulaim di dalam sanadnya terdapat seorang bernama Amir, Abu
Romlah. Berkata Al Khottoby Rahimahullah : majhul (tidak dikenal). Wallohu
a’lam bish showab. (lihat Syarh Muslim 7/112, Subulussalam 4/1352-1353)
Peringatan:
Berkata Syaikh Yahya Hafidhahullah, meskipun sunnah muakkadah, tidak sepantasnya
bagi mereka yang mampu, untuk meninggalkan sunnah tersebut. Awal Waktu
Penyembelihan Qurban
Berkata Ibnul Mundzir: para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyembelih hewan
qurban sebelum terbitnya fajar pada hari Nahr (Iedul Adha).
Kemudian mereka berselisih jika setelah waktu tersebut (fajr):
a) Berkata
Syafi’i, Dawud, dan Ibnul Mundzir: masuk waktunya jika matahari telah terbit
dan telah lewat waktu sekedar shalat Ied dan Khutbah (dari terbitnya matahari),
maka jika menyembelih setelah waktu ini sah-sah saja. Sama halnya imam telah
sholat atau belum.
b) Berkata
Malik Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban kecuali setelah
shalatnya imam, khutbahnya imam dan menyembelihnya imam.
c) Berkata
Ahmad Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban sebelum shalatnya
imam, dan boleh setelah shalatnya imam, meskipun imam belum menyembelih.
Yang rojih wallohu a’lam adalah pendapat yang terakhir yang menyatakan bolehnya
menyembelih hewan qurban ketika selesai sholat dan khutbahnya imam. Sesuai
dengan zhahir hadits Jundub bin Sufyan Al Bajaly yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari dan Muslim yang artinya:
“Barang siapa menyembelih sebelum sholat, maka hendaknya dia menyembelih yang
lain sebagai penggantinya” dalam lafadz lain: “Barang siapa menyembelih sebelum
shalat maka hendaknya dia menyembelih seekor kambing sebagai penggantinya”.
Juga berdasarkan hadits Al Bara bin ‘Azib riwayat Al Bukhari dan Muslim:
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sesungguhnya dia menyembelih
untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah
sempurna qurbannya dan mencocoki sunnahnya kaum muslimin”
(lihat Syarah Muslim 7/112-114) Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
a) Berkata
Syafi’i Rahimahullah : boleh berqurban pada hari Nahr (Iedul Adha) dan
hari-hari Tasyrik yang 3, setelahnya. Ini juga pendapatnya Ali bin Abi thalib,
Jubair bin Muth’im dan Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhum.
b) Berkata
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad: Qurban khusus pada hari Nahar (Iedul Adha) dan 2
hari setelahnya. Ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin
Umar radliyallohu ‘anhuma.
c)Berkata
Muhammad bin Sirrin: tidak boleh berqurban kecuali pada hari Nahr saja.
Yang rojih
wallohu a’lam pendapat Syafi’i Rahimahullah yang menyatakan bahwa akhir waktu
qurban adalah hari Tasyrik yang ketiga yaitu sebelum tenggelamnya matahari pada
hari itu. Dalilnya adalah hadits Jubair bin Muth’im radliyallohu ‘anhu riwayat
Ahmad dan Ibnu Hibban, artinya: “Hari Tasyrik adalah hari-hari penyembelihan
atau seluruhnya waktu penyembelihan”
Hadits ini memiliki jalan yang banyak yang menguatkan satu sama lain. Dan juga
berdasarkan hadits yang lain yang sanadnya shohih dan disebutkan oleh Syaikh
Muqbil bin Hadi Rahimahullah dalam Shahihul Musnad: “Hari-hari Mina adalah tiga
hari”
Dan inilah yang dirajihkan Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah (lihat Syarah
Muslim 7/112, Subulussalam 4/1354-1355, Zaadul Ma’ad 2/318-320) Tempat
Udhhiyyah
Disunnahkan
untuk menyembelih hewan qurban di musholla kaum muslimin dalam rangka
menampakkan syiar-syiar agama. Sesuai dengan hadits Abdullah bin Umar
radliyallohu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhori Rahimahullah : “Adalah Rasululloh
Shallallohu 'Alaihi Wassalam berqurban dan menyembelih di musholla (tanah
lapang)”
(lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Zaadul Ma’ad 2/322)
Hukum
Tasmiyyah (mengucapkan bismillah) Ketika Menyembelih
Telah sepakat kaum muslimin tentang disyariatkannya menyebut nama Alloh ketika
melepas hewan pemburu binatang buruan, ketika berqurban dan menyembelih hewan
qurban. Lalu mereka berselisih tentang hukumnya apakah wajib atau sunnah?
a)
Madzhabnya Syafi’i dan sebagian ulama, bahwa hukumnya sunnah. Bagi yang
meninggalkannya karena lupa atau sengaja halal buruannya dan sebelihannya. Ini
juga pendapatnya Malik dan Ahmad dalam sebuah riwayat.
b) Berkata
ulama dari kalangan Hanafiyyah, bahwa tasmiyyah wajib hukumnya bagi yang ingat
dan tidak halal sembelihannya/buruannya jika ditingalkan secara sengaja,
berdasarkan firman Alloh :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kalian makan dari apa-apa yang tidak disebut nama Alloh atasnya”
(Al An’am : 121)
c) Berkata
Ahlu Zhohir (zhohiriyyah) bahwa tasmiyyah wajib, dan apabila ditinggalkan sengaja
atau lupa tidak halal hukumnya. Dan inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Yahya
bin Ali Hafidhahullah . Berdasarkan ayat di atas dan juga ayat yang lain,
yaitu: dalam Surah Al An’am : 118 :
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“maka makanlah oleh kalian dari apa-apa yang disebut nama Alloh atasnya”
Dan juga berdasarkan keumuman hadits Al Bara bin Azib riwayat Al-Bukhari dan
Muslim
“dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaknya dia menyembelih dengan
nama Alloh”
Faedah:
Dijelaskan dalam riwayat Muslim bahwa beliau mengucapkan tasmiyyah dengan
ucapan : Artinya: dengan nama Alloh, dan Alloh Maha Besar (lihat Syarah Muslim
7/123, Subulussalam jilid 4/1336 – 1337) Binatang Qurban yang Diperbolehkan
Untuk Disembelih
Berkata Imam Nawawi: para ulama telah bersepakat bahwa tidak sah sembelihan
qurban dengan tanpa (selain) unta, sapi dan kambing, kecuali yang dihikayatkan
oleh Ibnu Mundzir dari Al Hasan bin Sholeh, bahwa dia berkata boleh berqurban
dengan kerbau (sapi liar).
Berkata Imam Shon’ani dinukilkan dari Asma, bahwa beliau berkata ; “Kami
berqurban bersama Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam dengan kuda. Dan
diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa beliau berqurban dengan ayam”.
Adapun minimalnya adalah kambing sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi
dan Ibnu Majjah dari Atha’ bin Yassar, beliau berkata: Aku menanyakan kepada
Abu Ayyub Al Anshori; “bagaimana penyembelihan qurban pada masa Rasululloh
Shallallohu 'Alaihi Wassalam? Beliau berkata:
“adalah seseorang berqurban dengan kambing, atasnya dan atas keluarganya. Maka
mereka makan dan memberikan makan (darinya) (lihat Syarh Muslim 7/119 – 123,
Subulussalam 4/1358 dan Rhaudattun Nadhiyyah hal. 611) Binatang Qurban yang
Paling Utama Binatang qurban yang paling utama adalah yang paling gemuk.
Berdasarkan hadits Abi Rafi’ yang artinya: “Adalah Rasululloh Shallallohu
'Alaihi Wassalam apabila beliau berqurban membeli 2 kibas yang gemuk” (HR.
Ahmad dengan sanad yang hasan)
Juga bedasarkan hadits Abu Umamah dalam riwayat Bukhori:“adalah kami
menggemukkan hewan qurban di Madinah dan kaum muslimin pun menggemukkan juga.
Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan jika ingin mencontoh perbuatan
beliau, adalah dengan menyembelih hewan qurban yang bertanduk dan gemuk,
sebagaimana dijelaskan dalam banyak haditsnya. (lihat Syarah Muslim 7/120,
Raudhottun Nadhiyyah 610). Umur Binatang Qurban
Sembelihan
hewan qurban mempunyai ketentuan-ketentuan, diantaranya ketentuan umur sebagai
syarat sahnya penyembelihan qurban.
a) Untuk domba minimal berumur 1 tahun menurut pendapat yang paling rojih,
sebagaimana dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah
b) Untuk kambing minimal berumur 2 tahun.
c) Untuk sapi minimal 2 tahun.
d) Untuk unta minimal berumur 5 tahun masuk tahun ke-6
Semua ini
berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
Rahimahullah yang artinya: “Dan janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah
(usia 2 tahun untuk sapi, dan kambing, usia 5 tahun untuk unta), kecuali sulit
atas kalian, maka sembelihlah jadzdah (usia 1 tahun) dari domba”
Catatan:
Al Musinnah adalah Atstsaniyyah yang telah sempurna usia 2 tahun masuk tahun
ke-3, untuk sapi, kambing, adapun istilah untuk unta adalah yang berusia 5
tahun sempurna untuk tahun ke-6, dan inilah fatwa dari Syaikh Yahya bin Ali Al
Hajuriy Hafidhahullah . (lihat Raudhotun Nadhiyyah 611, Syarh Muslim
7/119-120).
Keadaan Hewan Qurban
Selain dipersyaratkan umur yang mencukupi dalam hewan qurban, juga
dipersyaratkan harus bebas dari aib/ cacat, terutama 4 cacat yang disebutkan oleh
Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam dalam hadits Al Bara bin ‘Azib
radliyallohu ‘anhu, berkata Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam :
Empat jenis hewan qurban yang tidak diperbolehkan: 1) yang buta, yang jelas
butanya, 2) yang sakit, yang jelas penyakitnya, 3) yang pincang, yang jelas
kepincangannya, 4) yang kurus yang tidak bersumsum. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu
Majah, Nasa’i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani Rahimahullah) (lihat
Raudhotun Nadhiyyah hal 162, Zaadul Ma’ad 2/320-321).
Pembagian
Daging Qurban
Disunnahkan
daging qurban untuk dibagi menjadi 3 bagian: 1/3 untuk dimakan, 1/3 untuk
shodaqoh, 1/3 untuk disimpan yang kemudian di shodaqohkan atau dimakan.
Berdasarkan hadits: “Bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam bersabda:
makanlah, sedekahlah dan simpanlah”. HR. Bukhari dan Muslim (lihat Raudhotun
Nadhiyyah hal 613, Subulus Salam 4/1360).
Faedah:
Dahulu pada
awal Islam, Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam melarang untuk menyimpan
daging qurban lebih dari 3 hari, seperti disebutkan dalam hadits Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Waqid, Jabir bin Abdillah radliyallohu
‘anhum ajma’in dalam riwayat Muslim, dikarenakan pada saat itu kaum muslimin
dalam keadaan sulit dan membutuhkan, yang diharapkan daging tersebut
betul-betul dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Kemudian larangan tersebut
dimansukhkan dengan hadits Buraidah dalam riwayat Muslim, bahwa Rasululloh
Shallallohu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya: dahulu aku melarang kalian
untuk menyimpan daging qurban diatas 3 hari maka sekarang tahanlah oleh kalian
apa yang jelas bagi kalian (kalian inginkan). Juga disebutkan dalam hadits yang
semakna dari Jabir bin Abdillah, Abu Said Al Khudri, Salamah Ibnul Aqwa dan
Tsauban (lihat Syarah Muslim 7/132-136).
Peringatan!!
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan juga hadits lainnya, seperti hadits Ali
bin Abi Thalib dalam shohihain, maka tidak boleh daging qurban maupun kulitnya
dijadikan sebagai upah/ ongkos penyembelihan kepada tukang sembelih. Akan
tetapi ongkos tersebut diberikan dari ongkos tersendiri, dan jika kulit atau
daging hewan qurban tersebut hendak di shodaqohkan kepada si penyembelih maka
tidak mengapa. Karena shodaqoh bukan ongkos penyembelihan. Ali bin Abi Tholib
berkata: Nabi Shallallohu 'Alaihi Wassalam memerintahkan kepadaku untuk
menyembelih hewan qurbannya (unta beliau) dan agar aku bershodaqoh dengan
dagingnya, kulitnya, kain/sesuatu yang dihamparkan di punggung hewan qurban.
Dan agar aku tidak memberikan kepada tukang sembelih dari hewan qurban sebagai
upah. Akan tetapi kami memberinya dari sisi kami (HR. Bukhari, Muslim) (lhat
Syarah Muslim 5/69-70).
Larangan
Bagi Orang yang Hendak Berqurban
Dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam dalam hadits yang
shohih, bahwa seorang muslim yang hendak berqurban (sama halnya dia yang
menyembelih sendiri atau diwakilkan), maka dilarang untuk memotong rambutnya,
atau bulu-bulu yang asalnya disunnahkan atau dibolehkan. Juga dilarang untuk
memotong kuku atau melepas kulitnya. Hal ini berlaku sejak tanggal 1 Dzulhijjah
sampai dia menyembelih atau hewan qurbannya disembelih. Berdasarkan hadits Ummu
Salamah riwayat Muslim:
“Apabila telah masuk 10 Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak
berqurban maka jangan menyentuh (memotong) dari rambutnya dan juga kulitnya.
Dalam lafadz yang lain: “dan jangan mengambil rambutnya dan memotong kukunya”.
Para ulama berselisih tentang hukum larangan di atas, menjadi beberapa
pendapat:
a)Berkata Said Ibnul Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq dan Dawud, serta sebagian
Syafi’iyyah: hukumnya haram.
b) Berkata Syafi’i dan Malik dalam sebuah riwayat bahwa hukumnya makruh.
c) Berkata Abu Hanifah: tidak dimakruhkan. Wallohu a'lam yang rojih adalah
pedapat pertama yang menyatakan haram sesuai dengan zhohir hadits-hadits yang ada.
Akan tetapi hukum ini dapat berubah menjadi mubah, bagi yang merasa terganggu
dengan kulit/rambutnya sehingga mau tidak mau dia harus memotongnya dan ini
adalah pendapat Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.
Cara
Menyembelih Hewan Qurban
Secara umum syariat
Islam memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik/ihsan kepada hewan yang kita
sembelih, baik dalam hal tata cara penyembelihan maupun alat-alat yang
digunakan untuk menyembelih atau perkara-perkara lain yang menyegerakan
hilangnya ras sakit dari hewan yang disembelih. Beliau bersabda: “sesungguhnya
Alloh telah menuliskan /mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu
ketika kalian membunuh, maka berbuat baiklah dalam membunuh tersebut. Dan
ketika kamu menyembelih berbuat baiklah dalam penyembelihan, dan hendaknya
salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan
qurbannya. (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radliyallohu ‘anhu).
Adapun mengenai tata cara penyembelihan hewan qurban ada dua cara, yaitu:
1. Nahr
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih unta, yaitu dengan cara mengikat tangan
kiri (disebutkan juga kaki kirinya), dalam keadaan unta itu berdiri kemudian
ditarik, dan setelah punggung unta jatuh di atas tanah maka segera
ditebas/disembelih. Karena dalam keadaan seperti iniada kenyamanan padanya dan
lebih cepat menghilangkan nyawa (lihat Surat Al Haj Ayat 36).
2. Dzabh
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih sapi, kambing dan lainnya yang selain
unta, yaitu dengan cara membaringkan hewan tersebut pada lambung kirinya,
kemudian penyembelih menginjak pundak kanan hewan, tangan kanan memegang pisau
dan tangan kiri memegang kepala hewan qurban. Dan disyaratkan membaca tasmiyyah
“bismillah wallohu akbar” (dengan nama Alloh dan Alloh Maha Besar) sebagaimana
disebutkan dalam pembahasan yang lalu.
Diperbolehkan ketika menyembelih menggunakan apa saja yang tajam yang dapat
mengalirkan darah, kecuali kuku dan gigi dan seluruh jenis tulang, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Rafi’ bin Khadij riwayat Bukhari dan Muslim: “Apa saja
yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Alloh atasnya, maka makanlah,
selain gigi dan kuku. Adapun gigi karena dia adalah tulang, dan adapun kuku
adalah senjatanya orang Habasyah”. (lihat Syarah Muslim 5/74 dan 7/125-126).
Peringatan!!
hendaknya pisau yang digunakan untuk menyembelih adalah pisau yang sangat
tajam, dan menyegerakan jalannya pisau di leher hewan tersebut ketika
memotongnya.
Ketika hewan qurban telah disembelih, hendaknya kaki-kaki hewan tersebut
dilepas, tidak diikat atau dipegang. Hal ini memberikan dua faedah yang
penting:
1) Lebih meringankan dan memberi kenyamanan bagi hewan yang disembelih.
2) Lebih menuntaskan darah untuk keluar sehingga semakin bersih darahnya dan
semakin baik kualitas dagingnya.
Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa disukai/disunnahkan agar tidak
menajamkan pisau di sisi hewan disembelihan atau tidak menyembelih seekor hewan
di hadapan yang lain, maka hal ini dijelaskan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al
Hajury tidak ada dalil atasnya. Wallohu a'lam bishshowab. Bersekutu Dalam Hewan
Qurban
Diperbolehkan
bersekutu dalam hewan qurban pada unta sebanyak 7 orang, demikian pula pada
sapi sebanyak 7 orang. Dan disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radliyallohu
‘anhu bahwa diperbolehkan bersekutu 10 orang pada unta. “Unta untuk 10 orang”,
Juga hadits Rofi’ bin Khadij dalam shahihain “adalah Nabi Shallallohu 'Alaihi
Wassalam menyamakan 1 ekor unta dengan 10 ekor kambing”.
Adapun untuk kambing maka hanya untuk 1 orang dan ahli baitnya (keluarganya)
meskipun banyak jumlah mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Atho bin
Yasaar dari Abu Ayyub Al Anshori riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan (lihat
Zaadul Ma’ad 2/323, Syarah Muslim 5/72, Subulussalam 4/1359). BEBERAPA
PERMASALAHAN BERKAITAN DENGAN QURBAN (FATWA SYAIKH YAHYA BIN ALI AL HAJURY
Hafidhahullah )
1. Menghadap
kiblat ketika menyembelih. Berkata Hafidhahullah : tidak ada dalil yang
mengharuskan untuk menghadap kiblat. Sungguh Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa
Salam pernah menyembelih dengan tangannya 60 unta dan tidak dinukilkan bahwa
beliau menyembelih menghadap kiblat. Adapun riwayat yang datang dari Sunan
Baihaqy dari jalannya Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar terdapat ‘an’anah
(meriwayatkan dengan lafadz ‘an) Ibnu Juraij dan dia adalah seorang mudallis.
2. Jual beli
daging qurban atau kulitnya. Berkata Hafidhahullah : tidak boleh jual beli
daging qurban atau kulitnya, tetapi bershodaqoh dengannya sebagaimana perintah
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam kepada Ali bin Abi Thalib dalam riwayat
Al-Bukhari dan Muslim.
3. Apakah
diambil dari harta anak yatim untuk hewan qurban? (sebagai qurbannya)
berkata Hafidhahullah : tidak diambil dari harta anak yatim dalam perkara
mustahab, dan udhhiyyah hukumnya sunnah muakkadah. Hanya saja diabil dari
hartanya untuk zakat saja, berdasarkan dalil yang kuat: “diambil zakat dari
orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan dibagikan kepada oran gyang fakir
diantara mereka (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radliyallohu
‘anhu.
4. Mana yang
lebih afdhol udhhiyyah dengan zatnya atau bershodaqoh dengan uang seharga
udhhiyyah tersebut? Berkata Hafidhahullah: tidak ragu lagi bahwa udhhiyyah
lebih afdhol dari shodaqoh dengan harganya, bahkan udhhiyyah terkandung di
dalamnya shodaqoh seperti perintah beliau dalam hadits Ali bin Abi Tholib.
5. Apakah
boleh seorang wanita menyembelih hewan qurban? Berkata Hafidhahullah : na’am,
boleh-boleh saja seorang wanita menyembelih hewan qurban meskipun dalam keadaan
haidh. Sebagaimana dinukilkan dari Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam
Fathul Bary.
6.
Menyembelih qurban untuk mayit? Berkata Hafidhahullah : berkata Ibnul Mubarok
Rahimahullah, tidak disembelih hewan qurban untuknya akan tetapi di shodaqohkan
atasnya sebagaimana hadits Abu Hurairoh riwayat Bukhari dan Muslim: “jika mati
anak Adam terputus amalnya kecuali 3 perkara: shodaqoh jariyah . ” al hadits.
Dan seorang mayit tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban apalagi perkara
yang sunnah seperti halnya udhhiyyah. Dan tidak datang dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Salam bahwa beliau berqurban atas Khodijah yang telah meninggal.
7. Manakah
yang didahulukan, hutang atau udhhiyyah? Berkata Hafidhahullah : ada
perinciannya:
apabila dalam keadaan sehat dan lapang, terlebih lagi pemilik uang tidak
menginginkannya saat itu, maka tidak mengapa mendahulukan udhhiyyah.
Apabila dalam keadaan sempit maka tidak boleh mendahulukan udhhiyyah dari
hutang. Terlebih lagi dia dalam keadaan sakit atau ajalnya telah dekat. Maka
wajib baginya untuk mendahulukan hutangnya, karena Rasululloh Shallallahu
‘Alaihi Wa Salam telah memperingatkan dari hutang dan beliau tidak mensholatkan
seseorang yang mati dan memiliki hutang. Tetapi memerintahkan para shahabat
untuk mensholatkannya.
8.
Sembelihan orang-orang rafidhoh? Berkata Hafidhahullah: tidak dimakan karena
kedudukannya sama dengan sembelihan orang musyrik, dan ini fatwa Syaikh Ibnu
Baaz Rahimahullah
9. Apakah
udhhiyyah memansukhkan aqiqah? Berkata Hafidhahullah : ini adalah pendapat yang
batil, bahkan aqiqah wajib hukumnya menurut pendapat yang paling rajih
berdasarkan hadits: “setiap bayi yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya” HR.
Abu Dawud dari Samurah bin Jundab. Adapun undhhiyyah sunnah muakkadah saja
hukumnya dan tidak memansukhkan aqiqah.
10. Apakah
dipersyaratkan pada aqiqah seperti yang dipersyaratkan pada udhhiyyah? Berkata
: jumhur ulama mempersyaratkan hal tersebut dengan mengqiyaskan aqiqah kepada
udhhiyyah. Akan tetapi yang rajih adalah tidak dipersyaratkan. Dan qiyas yang
mereka gunakan ada perbedaan padanya, seperti halnya mengqiyaskan antara
khutbah Ied dengan khutbah Jum’at. Dan juga selain dari itu tidak ada dalil
yang shahih yang mempersyaratkan hal tersebut. Wallohu a’lam bishshowab.
Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Ustadz Muhammad Ashrul Tsani